Suatu kali saya bertemu dengan teman
yang menceritakan bahwa beberapa tahun yang lalu dia pernah ikut Training &
Workshop di Thailand tentang 7 Habits of Highly Effective People yang di asuh
sendiri oleh Stephen R. Covey sendiri. Saat itu Stephen R. Covey mengatakan
kepadanya,
“Kalian itu muslim punya panutan yang paripurna yaitu Muhammad SAW yang
memiliki dua keunggulan sekaligus yaitu Kompetensi & Kredibilitas. Bahkan
kompetensi yang dimilikinya lebih dari satu, dia sukses sebagai sebagai
pedagang dan juga sukses sebagai seorang pemimpin. Saya saja banyak belajar
mengenai Muhammad dan Islam ini.”
Dalam Ensiklopedi Muhammad Sebagai
Pedagang, Afzalur Rahman memaparkan, Muhammad tumbuh dewasa di bawah asuhan Abu
Thalib dan terus belajar mengenai bisnis perdagangan dari pamannya ini. Dalam menggeluti profesinya sebagai pedagang,
Nabi tak sekadar mencari nafkah yang halal guna memenuhi biaya hidup, tetapi
juga untuk membangun reputasinya agar orang-orang kaya berdatangan dan
mempercayakan dana mereka kepadanya.
Berbekal pengalamannya dalam berdagang
dan reputasinya yang terkenal sebagai pedagang yang terpercaya dan jujur,
beliau memperoleh banyak kesempatan berdagang dengan modal orang lain, termasuk
di antaranya modal dari seorang pengusaha kaya raya Khadijah, yang kelak
menjadi istrinya, dengan mahar 20 ekor unta.
Rasulullah telah menjadi pedagang ideal
yang sukses dan memberi petunjuk bagaimana menjadi pedagang ideal dan sukses.
Beliau selalu memegang prinsip kejujuran dan keadilan dalam berhubungan dengan
para pelanggan. Muhammad SAW selalu mengikuti prinsip-prinsip perdagangan yang
adil dalam setiap transaksi. Beliau juga selalu menasihati para sahabatnya
untuk melakukan hal serupa.
Ketika berkuasa dan menjadi kepala
negara Madinah, beliau telah mengikis habis transaksi-transaksi dagang dari
segala macam praktik yang mengandung unsur-unsur penipuan, riba, judi,
ketidakpastian, keraguan, eksploitasi, pengambilan untung yang berlebihan dan
pasar gelap. Nabi Muhammad juga melakukan standardisasi timbangan dan ukuran,
serta melarang orang-orang mempergunakan standar timbangan dan ukuran lain yang
kurang dapat dijadikan pegangan.
Berdagang merupakan sarana untuk meraih
rezeki Allah dan mendapatkan kekayaan. Dan, menjadi kaya raya adalah impian
semua orang. Sifat Allah Ar-Rozzaq (Maha Memberi Rizqi), Al-Ghoniy (Maha Kaya)
dan Al-Mughniy (Maha Pemberi Kekayaan) yang ditanamkan kepada manusia
menjadikan manusia ingin menguasai kekayaan. Pada zaman keemasan Islam (khoirul
qurun), para sahabat Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam menguasai kekayaan dengan motivasi terbaik
mereka, beribadah kepada Allah.
Dan tentu saja, rizqi yang mereka
terima, hanya yang halal saja. Ciri
mereka ada pada keteguhan, komitment syariah dalam setiap bisnis, akad, modal
dan kerja keras dalam berproduksi serta menafkahkan harta, waktu dan dirinya
untuk mencapai ridha Allah, namun sangat hemat dalam konsumsi.
Betapa banyak orang kaya yang
kekayaannya tidak menyibukkannya dari (beribadah kepada) Allah Subhanahu wa
Ta'ala, seperti Nabi Sulaiman 'alaihis salam. Demikian pula (sahabat Nabi
shallallahu 'alaihi wa sallam) 'Utsman (bin 'Affan) radhiyallahu 'anhu dan
'Abdurrahman bin 'Auf radhiyallahu radhiyallahu 'anhu.
Banyak ayat Al-Quran dan hadits
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam yang berisi pujian terhadap orang yang
memiliki harta dan menggunakannya untuk mencapai ridha Allah Subhanahu wa
Ta'ala, di antaranya :
"Laki-laki yang tidak dilalaikan
oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual-beli dari mengingat Allah,
mendirikan shalat, dan menunaikan zakat. Mereka takut pada hari (pembalasan),
yang (pada saat itu) hati dan penglihatan menjadi goncang." (QS. An-Nur:
37)
Imam Al-Qurthubi berkata,
"Dianjurkan bagi seorang pedagang (pengusaha) untuk tidak
disibukkan/dilalaikan dengan perniagaan (usaha) nya dari menunaikan
kewajiban-kewajibannya. Oleh karenanya, ketika tiba waktu shalat fardhu,
hendaknya dia (segera) meninggalkan perniagaannya (untuk menunaikan shalat),
agar dia termasuk ke dalam golongan orang-orang (yang dipuji Allah Subhanahu wa
Ta'ala) dalam ayat ini."
Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu,
dia berkata, “Orang-orang miskin (dari para sahabat Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam) pernah datang menemui beliau shallallahu 'alaihi wa sallam,
lalu mereka berkata, "Wahai Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam,
orang-orang (kaya) yang memiliki harta yang berlimpah bisa mendapatkan pahala
(dari harta mereka), kedudukan yang tinggi (di sisi Allah Subhanahu wa Ta'ala),
dan kenikmatan yang abadi (di surga), karena mereka melaksanakan shalat seperti
kami melaksanakan shalat dan mereka juga berpuasa seperti kami berpuasa, tetapi
mereka memiliki kelebihan harta yang mereka gunakan untuk menunaikan ibadah
haji, umrah, jihad, dan sedekah, sedangkan kami tidak memiliki harta.…"
Dalam riwayat Imam Muslim, di akhir hadits ini Rasulullah shallallahu 'alaihi
wa sallam bersabda, "Itu adalah karunia (dari) Allah yang diberikan-Nya
kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya." (Hadits shahih riwayat Al-Bukhari
(no. 807 dan 5970) dan Muslim (no. 595).
Dalam hadits ini, Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam tidak mengingkari ucapan para sahabat tersebut tentang pahala
dan keutamaan besar yang diraih oleh orang-orang kaya pemilik harta yang
menginfakkannya di jalan Allah Subhanahu wa Ta'ala, bahkan di akhir hadits ini
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam memuji perbuatan mereka. Oleh karena
itu, Imam Ibnu Hajar --ketika menjelaskan hadits ini-- berkata, "Dalam
hadits ini (terdapat dalil yang menunjukkan) lebih utamanya orang kaya yang
menunaikan hak-hak (Allah Subhanahu wa Ta'ala) pada (harta) kekayaannya dibandingkan
orang miskin, karena berinfak di jalan Allah (seperti yang disebutkan dalam
hadits di atas) hanya bisa dilakukan oleh orang kaya." (Kitab Fathul Bari:
3/298)
Dalam hadits yang lain, Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
“Tidak apa-apa dengan kaya bagi orang
yang bertakwa. Dan sehat bagi orang yang bertakwa itu lebih baik dari kaya. Dan
bahagia itu bagian dari kenikmatan.” (HR. Ibnu Majah no. 2141 dan Ahmad 4/69.
Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Dari sini bukan berarti kita tercela
untuk kaya harta, namun yang tercela adalah tidak pernah merasa cukup dan puas
(qona’ah) dengan apa yang Allah beri. Padahal sungguh beruntung orang yang
punya sifat qona’ah. Dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al ‘Ash, Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Sungguh sangat beruntung orang yang
telah masuk Islam, diberikan rizki yang cukup dan Allah menjadikannya merasa
puas dengan apa yang diberikan kepadanya.” (HR. Muslim no. 1054)
Sifat qona’ah dan selalu merasa cukup
itulah yang selalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam minta pada Allah dalam
do’anya. Dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata,
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
biasa membaca do’a: “Allahumma inni as-alukal huda wat tuqo wal ‘afaf wal
ghina” (Ya Allah, aku meminta pada-Mu petunjuk, ketakwaan, diberikan sifat
‘afaf dan ghina).” (HR. Muslim no. 2721). An Nawawi –rahimahullah- mengatakan,
“”Afaf dan ‘iffah bermakna menjauhkan dan menahan diri dari hal yang tidak
diperbolehkan. Sedangkan al ghina adalah hati yang selalu merasa cukup dan
tidak butuh pada apa yang ada di sisi manusia.”
Karena itu bagi seorang muslim memiliki
harta sebanyak-banyak sangat dianjurkan, tapi Islam mengingatkan bahwa harta
yang dikumpulkan itu bukanlah tujuan, tapi sebagai alat bantu untuk mencapai
tujuan menegakkan kalimah Allah di muka bumi. Dan telah menjadi sebuah
kenyataan bahwa perjuangan tidak akan berjalan dengan optimal tanpa dibarengi
dengan ketersediaan harta benda.
Rasulullah selain dengan harta beliau
sendiri ditambah dengan harta ummul mukminin Khadijah menyumbangkan harta untuk
perjuangan kaum muslimin. Khalifah Abu Bakar hampir seratus persen
menyumbangkan harta kekayaan untuk Islam, Amirul mukminin Umar bin Khattab
dengan perjuangan Islam berkontribusi lima puluh persen dari harta kekayaannya,
dan yang paling melegenda sahabat nabi paling kaya Abdurrahman bin Auf tidak
pernah berhenti bersedekah dengan hartanya untuk Islam sampai ajal
menjemputnya.
Justru dengan harta bendanya inilah
beliau menjadi salah satu sahabat yang dijamin Rasulullah masuk surga. Pendek
kata, semua perjuangan Islam dari dulu hingga sekarang tidak pernah lepas dari
dukungan materi. Karena itu mengumpulkan harta benda untuk tercapainya sebuah
perjuangan menjadi wajib hukumnya. Dan, ternyata semua harta benda para sahabat
yang memiliki kontribusi besar dalam memperjuangkan Islam itu didapat dari
hasil perniagaan atau wirausaha.
Salam Sukses & Berkah !
Facebook : Arif Prasetyo Aji | Twitter :
@arifaji
Comments